Rabu, 12 September 2012

Haloo, saya pindahan lho


Sumber gambar: aplannerslife.blogspot.com

Selasa, 13 Juli 2010

Petuah Ayah

Kata Ayah, belajar itu harus seperti bayi

jatuh
bangun

jatuh
bangun

jatuh lagi
bangun lagi

jatuh lagi
bangun lagi

bangun

tertatih

berjalan

BERLARI!

Senin, 12 Juli 2010

Dengan siapa, ke mana?

Bandung, 12 Juli 2010
Tengah hari dalam perjalanan naik angkot, dari Asrama Putri Salman menuju kosan..

“Itu ITB, Cha!” terdengar seruan seorang bapak saat angkot kami melewati kampus Ganesha.
He? Udah tahu kok, Pak, ujar saya dalam hati.
“Tuh, tuh, kampus Icha nanti kalau udah gede,” kali ini seorang ibu yang bersuara.
Kali ini jelas-jelas perbincangan tidak ditujukan pada saya, tetapi pada seorang gadis cilik berusia sekitar 2 tahun.
Si anak tertawa-tawa senang sambil menunjuk-nunjuk, “I..de..e”
Hoo, saya pun ikut tertawa-tawa. Icha junior!!

Di depan Kebun Binatang Bandung, Si Bapak, Ibu, Icha junior, dan beberapa orang dewasa lain turun. Rupanya Si Bapak merupakan pemimpin rombongan wisata. Yang saya amati selama hilir-mudik di daerah Pelesiran-Jalan Ganesha, biasanya pengunjung Kebun Binatang adalah para orang dewasa yang membawa para anak. Tapi kok kali ini sedikit beda ya, rombongan orang dewasa (ada neneknya juga) yang membawa satu anak kecil. Satu saja.

Mau pada ngapain di Kebun Binatang, Pak, Bu?
Mau pengamatan burung ya?
Atau mau lihat buaya darat?
Hemm, atau mau mengamati keanekaragaman flora dan fauna?

Kenapa nggak piknik ke pantai aja ya? Atau ke mana gitu, ke tempat yang lebih “dewasa”. Ah, sebenarnya Kebun Binatang juga bukan monopoli anak-anak. Hanya saja, berdasarkan pengalaman dan pengamatan selama ini, terbentuklah paradigma dalam kepala saya bahwa Kebun Binatang berasosiasi erat dengan tempat wisata untuk anak-anak.

Anggota rombongan itu kemudian menyeberang. Beberapa di antara mereka ada yang saling bergandengan tangan. Melihat fragmen tersebut, saya akhirnya manggut-manggut maklum.
Mungkin “kapan” dan “mau main kemana” bagi mereka bukanlah urusan terpenting, yang saaaaaaangat penting adalah “dengan siapa?”

Sabtu, 10 Juli 2010

--<<@

11 Juni 2010 jam 6:23

--<<@
Segala tentangmu adalah puisi tanpa diksi, tanpa dramatisasi
Bagimu, bagi kita, rasa bukanlah kata-kata

Berjalan bersamamu mengenangkan rima sederhana
Menghadirkan baris-baris bahasa seadanya

Bila semua kata di semesta ini tiada
Tak perlu kukhawatirkan dirimu
Karena kau tercipta dari makna
Cukup dari diammu ku sudah tahu


--<<@


Ah Ayah,
bagaimana aku tak cinta
Sebagian dari dirimu...
mengalir bersama napasku

Tentang Teman yang Pergi Lebih Dahulu

Hampir setiap pulang kampung saya disambut dengan kabar gembira.
Kabar pernikahan teman atau bahkan kabar mengenai teman yang sudah melahirkan.
Berbeda dengan kabar yang saya terima saat liburan ini.

Tanggal 8 Juli 2010, sekitar pukul empat sore, dalam perjalanan menuju Pantai Ujunggenteng bersama keluarga.

+6285624120xxx : Teh, nuju d jpk pan? Tos terang teu acan andi kodok pupus
Saya : Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un
(Lho, bukannya…)
Iraha pupusna? Kunaon?
Deg-degan saya pencet opsi “send”.
Pasalnya, baru kemarin siang Andi mampir ke rumah.
Nggak lucu kan kalau meninggalnya sudah sejak seminggu yang lalu..

Sms balasan diterima.
Kabarnya, Andi meninggal dalam kecelakaan hari Rabu malam.
...dan siang sebelumnya beliau mampir ke rumah saya, mencari bibinya yang merupakan teman Mama. Allahu akbar!!..

Waktu kelas IX SMP memang kami akrab, namanya juga teman sekelas.
Biasalah, sebut saja “partner in crime”.
Setelah SMA, apalagi dengan kelas dan kesibukan yang berbeda, akhirnya anak-anak IX C terpisahkan dengan sendirinya.
Hingga setelah dua tahun ba’da lulus SMA, saya nyaris lupa pernah punya teman bernama Andi Supriadi.

Sampailah di siang itu.
Saya membuka pintu untuk tamu yang memencet bel.
Ternyata seorang remaja putra, berbaju belang, badannya tinggi, rambutnya agak gondrong, berkacamata frame tebal.
Kok rasa-rasanya kenal, siapa ya.. pangling!

“Eh Ca, liburan? Tos lami di dieu?” Sapanya dengan tersenyum.
Senyum yang pada akhirnya mengingatkan saya pada namanya.
“Muhun, tos lami. Liburna lami” jawab saya.
Sebenarnya nama beliau sudah ada di tenggorokan, namun tak juga kunjung terucap.
“Aya Bu Didah teu? Saurna kadieu”, tanyanya.
“Teu aaa-ya?”, jawab saya.
“Yeh, di mananya? Ongkoh saurna di Bu Tami..,” gumamnya sambil memencet hp, menghubungi orang yang dicari.

Setelah beberapa percakapan singkat akhirnya beliau pulang.
Tidak sedikitpun saya menyangka, setelah sekitar dua tahun tidak bertemu, pertemuan itu merupakan perpisahan.
Baik tempat maupun waktunya, semua hal tersebut berasa luar biasa.
Saya baru pertama kali bertemu dengan seseorang beberapa saat sebelum ajalnya, apalagi dengan cara kematian yang tiba-tiba.
Tambahan lagi, orang tersebut bukanlah teman yang sangat akrab yang seringkali bertemu, eh tiba-tiba dia hadir di pintu depan rumah saya.
Sekilas, hanya sekilas.
Benar-benar untuk terakhir kalinya...

Saya rasa pertemuan terakhir ini bukanlah kebetulan. Bagi saya, itu adalah pengingat dari Allah untuk saya yang terlena dalam permainan dunia.

Pemuda itu..
semuda apapun
sekuat apapun
sehebat apapun
jika Tuhannya memintanya kembali
pergilah ia...

Maut barangkali bukanlah perkara kapan
tetapi bagaimana



*****

Selamat jalan, Andi Supriadi...
(SMPN 1 Jampangkulon, kelas IX-C, alumni 2005
SMAN 1 Jampangkulon, kelas bahasa, alumni 2008)

Hai jiwa yang tenang.
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya.
Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku,
dan masuklah ke dalam surga-Ku.
(QS. 89:27-30)

Rabu, 19 Mei 2010

Asyiknya Kuliah Biologi

06 November 2009 jam 19:38

Alhamdulillah, saat ini aku masih hidup. Berada dalam kondisi sehat wal'afiat malah.


Tidak mati karena tertimbun buku-buku

Tidak mati karena terkena radiasi laptop

Tidak mati karena terbius amonia

Tidak mati karena tenggelam dalam Waterbirth

Tidak mati karena keracunan feses Mus musculus 

Tidak mati karena dikerubuti Drosophila melanogaster

Tidak mati karena disergap Arctictis binturong

Tidak mati karena dikejar Term of References

Tidak mati karena dikepung syuro' dan rakor

Tidak mati karena dibayang-bayangi notulensi

Tidak mati karena dihantui presensi



Aku baik-baik saja

Semakin hari semakin baik malah

Semakin hari semakin kuat malah


Siapa bilang ini beban?

Ini "hanya" latihan

Bapak, Berhentilah Membakar Uang Kita

31 Desember 2009 jam 9:16

Bismillahirrahmaanirrahiim


Sebuah karya, pertanda saya ada


"Bapak, Berhentilah Membakar Uang Kita!!!"






Tiga puluh empat… tiga puluh lima… tiga puluh enam…
Kalau kulanjutkan hitungan ini, lama-lama aku jadi pening. Kotak-kotak yang sedang kuhitung ini adalah bungkus rokok. Ya, belakangan ini aku memiliki hobi baru, yaitu menabung bungkus rokok Bapak. Dan lihatlah sekarang,hasil tabunganku sudah berbaris memenuhi lubang ventilasi di bagian atas pintu kamarku!

Setiap hari Bapak menyumbangkan satu atau dua bungkus, seringnya sih dua. Memang banyak orang yang rekornya jauh melampaui Bapak, tetapi menurutku beliau yang ternekad. Dengan penghasilannya yang tak seberapa sebagai “pembangun peradaban” (kuli bangunan), Bapak memaksakan berlembar-lembar uang untuk menebus batangan candunya. Padahal jika dikonversikan ke dalam rupiah, Bapak merokok selama satu minggu sama dengan membakar sepuluh kilogram beras. Ah, Bapak…

Kebiasaan Bapak merokok itu kambuh belum lama, kira-kira baru tiga bulan yang lalu, sejak Ibu diambil yang Maha Kuasa. Konon katanya, saat masih lajang Bapak adalah perokok berat, namun beliau berhenti merokok karena Ibu saat akan menikah dengan Bapak membuat perjanjian bahwa Bapak harus berhenti merokok.

Bukan tak pernah aku mengingatkan Bapak. Terlalu sering malah, jadinya sudah dianggap sebagai anjing yang menggonggong… dan cerobong asap tetaplah mengepul. Upaya diplomasi sudah sering kutempuh. Namun apalah daya, bapakku malah tak paham apa yang kukatakankan.

Di rumahku, apalagi di pintu kamar, penuh dengan tempelan-tempelan

No smoking!! No cigarette!!

Mengepulkan asap dapur lebih penting daripada mengepulkan asap rokok!!

Jus wortel lebih enak daripada jus rokok

Dan Bapak tentu tak tinggal diam dengan serangan itu, beliau yang tulisannya seperti cakar ayam itu membalas : Mang Junaedi ngisep sehari tiga bungkus. Tapi dia mati karena sakit jantung, bukan karena keracunan tembakau!

/////

Maghrib ini aku pulang seperti seorang pejuang yang menyongsong kemenangan. Lelah letih, gang sempit dan becek, lewat deh… Ini aku, Imas Maesaroh, berjalan dengan penuh kecongkakkan. Kepalaku terasa bengkak oleh ide-ide yang meloncat-loncat. Seorang mahasiswa tingkat III di institut terbaik bangsa akan menaklukkan bapaknya yang tamatan SD. Heh!! Sombong aku!!

“Imas, sudah sholat belum? Maghrib sudah mau lewat juga.” Rupanya Bapak baru pulang dari mesjid. Dalam kehidupannya, mesjid, batu bata, dan rokok adalah hal-hal yang tak bisa dijauhkan darinya.

“Iya, iya.” Aku melangkah menuju kamar mandi. Byur-byur-byur, aku bersuci seadanya. Kemudian terbirit-birit menuju kamar. Begini-begini aku penakut, masih saja percaya dongeng tentang hantu jahat yang gemar mengganggu orang yang mandi maghrib.

Seusai sholat, seperti biasa aku dan Bapak makan malam, lesehan beralaskan tikar pandan usang. Ruang tamu di rumah ini multifungsi. Bisa menjadi ruang menerima tamu, ruang keluarga, ruang makan, maupun kamar darurat jika ada teman-teman sekelasku yang menginap.

“Wah, nggak kerasa ya sudah bulan Ramadhan lagi. Coba kalau Ibu masih ada, kita besok sahur pertama kan rame bertiga..” Bapak bergumam sambil mengunyah sepotong tempe. Aku hanya diam, ada rasa yang susah payah kutahan. Kacamataku memburam.

“Dulu waktu Imas kecil, sebelum sahur Ibu suka mengajak Imas panen duit di kebun depan. Hehe, lucu ya, Pak. Waktu itu Imas kira malaikat yang nyawer duit, nggak tahunya ternyata Ibu.” Aku menerawang sambil memeluk lutut.

“Iya, kamu tuh sampai nggak mau tidur. Takut kesiangan, takut duitnya keburu habis diambil Bapak.” Bapak mengacak-acak rambutku. Aku hanya nyengir dan menyandarkan kepalaku di bahunya.

“Imas, tolong ambilin rokok Bapak di atas TV.” Di rumah kami, TV merupakan satu-satunya barang berharga. Itu juga dibelinya dari hasil saweran setelah aku dua kali syukuran khatam Qur’an, ditambah tabungan Almarhumah Ibu, upah beliau merias pengantin.

Uuh…

“Pak, besok kan kita mulai puasa, berarti Bapak nggak usah beli rokok, ya,” bujukku.
“Waah, mulut Bapak asem kalau nggak merokok,” kilah Bapak.
“Kalau gitu satu bungkus untuk seminggu, ya,” aku menawar.
“Hmmm…,” Bapak diam. Itulah Bapak, tiap kali aku minta Bapak berhenti merokok, beliau cuma hmm-hmm saja.

////////

“Imas, rokok Bapak kamu taruh di mana?”
“Waduh, Pak! Tadi sudah Imas buang, kirain nggak ada isinya. Hari ini nggak usah aja ya, Pak. Sepuluh menitan lagi taraweh, masa mau taraweh bau rokok. Malu sama Allah ya, Pak.”

////////

Malam ini Pak RT bertandang ke rumah. Biasa, beliau memang suka melakukan kunjungan ke rumah-rumah warganya. Begini kalau bapak-bapak sedang mengobrol, rame juga lah! Aku bisa mendengar apa mereka perbincangkan, soalnya antara kamarku dan ruang tamu hanya disekat kain. Rupanya Pak RT menawarkan pekerjaan pembangunan MCK umum. Alhamdulillah, rezeki datang di saat kami sangat membutuhkan.

“Ngisep, Pak RT!” Sebagai tuan rumah Bapak menyuguhkan rokok pada tamunya.
“Oh punten, nggak saya mah. Maklum udah uzur, udah penyakitan,” jawab Pak RT sambil terkekeh-kekeh. Bapak tidak jadi menyulut rokoknya..

/////////

“Neng, beliin rokok lah sebungkus,” pinta Bapak di suatu sore.
“Pak, boleh nggak uangnya buat beli ikan patin di warung Bu Haji? Imas udah lama nggak makan masakan Bu Haji,” pintaku agak memelas. Aku yakin Bapak akan mengiyakan, soalnya Bapak juga pasti sudah bosan seminggu ini makan telur melulu.
Bapak berpikir sejenak. “Ya sudah, terserah kamu.”
Yesss…!!!

//////////

Tidak terasa, sepuluh hari pertama Ramadhan sudah berlalu. Aku baru membeli dua bungkus rokok dan Bapak belum membakar semuanya. Suatu progres yang lumayan bagus.

Aku memang sudah merencanakan program “stop merokok” buat Bapak. Jika di hari-hari biasa rasanya sulit menerapkan program ini, mudah-mudahan Ramadhan adalah waktu yang tepat. Dan rasanya hipotesisku sudah mulai terbukti. Dari hari pertama Ramadhan aku me-launching programku. lihat saja kurva kuantitas rokok yang dihabiskan Bapak per hari menunjukkan penurunan secara eksponensial.
Seusai shalat maghrib Bapak duduk sendiri. Televisi menayangkan sinetron khas Indonesia. Kok tumben ya nggak pindah channel? O-oww, pantesan…

“Ngelamunin apa, Pak?” Aku duduk di sampingnya, mengambil remote dan memencet-mencet mencari siaran yang bagus.
“Neng, kayaknya lebaran ini Bapak nggak bisa beliin kamu baju baru,” Bapak serius sekali menatapku.
“Haha, Bapak… Imas kan sudah besar. Sekarang ini sudah waktunya Imas yang membelikan Bapak baju lebaran,” jawabku ringan.
“Kamu punya uang, Neng?” Bapak menatapku ragu.
“Masih ada sisa beasiswa. Ya nggak banyak sih, tapi cukuplah untuk membeli baju koko baru buat Bapak,” aku tersenyum. Ada semilir angin yang membelai lembut hatiku saat mengucapkan kata-kata itu. Dan aku melihat bintang di mata Bapak.

“Eits, tapi ada syaratnya,” aku mengerling.
“Selama Ramadhan ini Bapak nggak boleh menyentuh rokok. Bagaimana, Pak?” Ciee.. lagakku..
Bapak tertegun menimbang. “Berhenti merokok itu susah, Neng.”
“Apa yang susah di dunia ini, Pak. Yang ada adalah mau atau tidak mau berusaha” jawabku sok tahu.
“Hmm..hmm..”

Aku tahu Bapak dan rokok adalah pasangan sedarah sedaging, namun aku juga sangat tahu.. Bapak lebih mencintai aku daripada pasangan ilegalnya itu. 

“Deal?” Tanganku sudah terulur. Dan Bapak menyambutnya dengan canggung.

Malam itu, dengan disaksikan Tuhan.. Seorang bapak dan anaknya telah mengikat janji.

Hari-hari selanjutnya aku benar-benar mempersiapkan upaya-upaya mendukung Bapak berhenti merokok. Tiap hari aku membuat tajil yang banyak. Setelah makan berat, kupaksa Bapak menghabiskannya. Jadi saat tajilnya baru habis, adzan isya berkumandang. Selesai tarawih aku titipkan Bapakku pada Wa Haji untuk tadarusan sampai larut malam. Makanan sahur sengaja aku sajikan menjelang imsak. Nah, selain mengikuti sunnah Nabi, tidak ada waktu luang yang mengingatkan Bapak pada rokok. Sekali dua kali aku memergoki Bapak diam-diam menyelinap ke belakang rumah setelah kekenyangan makan tajil. Aku dengan sigap membuntutinya.

Ramadhan tinggal bersisa sepuluh hari lagi. Jauh-jauh hari sebelumnya, aku sudah mendaftarkan Bapak untuk ikut program I’tikaf yang diadakan DKM di kecamatanku. Anggap saja aku memesantrenkan Bapak. Aku sudah mewanti-wanti pada Wak Haji supaya mengawasi Bapak.

Dan entah kenapa Bapak nurut saja aku atur-atur… ya, mungkin itulah cinta. Hahay..

----<<<@

Idul Fitri pertama tanpa Ibu. Aku menangis di depan pusaranya. Kangen…
Kangen pelukannya, kangen masakannya, kangen segala hal tentang mutiaraku itu.

Bapak menepuk pundakku pelan. “Pulang, yuk.”
Aku mengangguk. Tertangkap oleh sudut mataku kilau koko biru langit yang dikenakan Bapak. Jika kumembauinya, tentu wangi tokonya masih terasa.

----<<<@

Kulihat Bapak tampak sibuk mencari sesuatu.
“Cari apa, Pak?”
“Lihat korek api nggak?”
“Buat apa?” aku mengernyitkan kening. Wah, curiga…
“Mau ngisep,” jawab Bapak santai.
“Lho, Bapak lupa janji yang dulu?” aku mulai cemberut.
“Inget kok, tapi kan perjanjiannya hanya berlaku di bulan puasa.” Bapakku nyengir, jelek sekali.

///////////