Selasa, 13 Juli 2010

Petuah Ayah

Kata Ayah, belajar itu harus seperti bayi

jatuh
bangun

jatuh
bangun

jatuh lagi
bangun lagi

jatuh lagi
bangun lagi

bangun

tertatih

berjalan

BERLARI!

Senin, 12 Juli 2010

Dengan siapa, ke mana?

Bandung, 12 Juli 2010
Tengah hari dalam perjalanan naik angkot, dari Asrama Putri Salman menuju kosan..

“Itu ITB, Cha!” terdengar seruan seorang bapak saat angkot kami melewati kampus Ganesha.
He? Udah tahu kok, Pak, ujar saya dalam hati.
“Tuh, tuh, kampus Icha nanti kalau udah gede,” kali ini seorang ibu yang bersuara.
Kali ini jelas-jelas perbincangan tidak ditujukan pada saya, tetapi pada seorang gadis cilik berusia sekitar 2 tahun.
Si anak tertawa-tawa senang sambil menunjuk-nunjuk, “I..de..e”
Hoo, saya pun ikut tertawa-tawa. Icha junior!!

Di depan Kebun Binatang Bandung, Si Bapak, Ibu, Icha junior, dan beberapa orang dewasa lain turun. Rupanya Si Bapak merupakan pemimpin rombongan wisata. Yang saya amati selama hilir-mudik di daerah Pelesiran-Jalan Ganesha, biasanya pengunjung Kebun Binatang adalah para orang dewasa yang membawa para anak. Tapi kok kali ini sedikit beda ya, rombongan orang dewasa (ada neneknya juga) yang membawa satu anak kecil. Satu saja.

Mau pada ngapain di Kebun Binatang, Pak, Bu?
Mau pengamatan burung ya?
Atau mau lihat buaya darat?
Hemm, atau mau mengamati keanekaragaman flora dan fauna?

Kenapa nggak piknik ke pantai aja ya? Atau ke mana gitu, ke tempat yang lebih “dewasa”. Ah, sebenarnya Kebun Binatang juga bukan monopoli anak-anak. Hanya saja, berdasarkan pengalaman dan pengamatan selama ini, terbentuklah paradigma dalam kepala saya bahwa Kebun Binatang berasosiasi erat dengan tempat wisata untuk anak-anak.

Anggota rombongan itu kemudian menyeberang. Beberapa di antara mereka ada yang saling bergandengan tangan. Melihat fragmen tersebut, saya akhirnya manggut-manggut maklum.
Mungkin “kapan” dan “mau main kemana” bagi mereka bukanlah urusan terpenting, yang saaaaaaangat penting adalah “dengan siapa?”

Sabtu, 10 Juli 2010

--<<@

11 Juni 2010 jam 6:23

--<<@
Segala tentangmu adalah puisi tanpa diksi, tanpa dramatisasi
Bagimu, bagi kita, rasa bukanlah kata-kata

Berjalan bersamamu mengenangkan rima sederhana
Menghadirkan baris-baris bahasa seadanya

Bila semua kata di semesta ini tiada
Tak perlu kukhawatirkan dirimu
Karena kau tercipta dari makna
Cukup dari diammu ku sudah tahu


--<<@


Ah Ayah,
bagaimana aku tak cinta
Sebagian dari dirimu...
mengalir bersama napasku

Tentang Teman yang Pergi Lebih Dahulu

Hampir setiap pulang kampung saya disambut dengan kabar gembira.
Kabar pernikahan teman atau bahkan kabar mengenai teman yang sudah melahirkan.
Berbeda dengan kabar yang saya terima saat liburan ini.

Tanggal 8 Juli 2010, sekitar pukul empat sore, dalam perjalanan menuju Pantai Ujunggenteng bersama keluarga.

+6285624120xxx : Teh, nuju d jpk pan? Tos terang teu acan andi kodok pupus
Saya : Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un
(Lho, bukannya…)
Iraha pupusna? Kunaon?
Deg-degan saya pencet opsi “send”.
Pasalnya, baru kemarin siang Andi mampir ke rumah.
Nggak lucu kan kalau meninggalnya sudah sejak seminggu yang lalu..

Sms balasan diterima.
Kabarnya, Andi meninggal dalam kecelakaan hari Rabu malam.
...dan siang sebelumnya beliau mampir ke rumah saya, mencari bibinya yang merupakan teman Mama. Allahu akbar!!..

Waktu kelas IX SMP memang kami akrab, namanya juga teman sekelas.
Biasalah, sebut saja “partner in crime”.
Setelah SMA, apalagi dengan kelas dan kesibukan yang berbeda, akhirnya anak-anak IX C terpisahkan dengan sendirinya.
Hingga setelah dua tahun ba’da lulus SMA, saya nyaris lupa pernah punya teman bernama Andi Supriadi.

Sampailah di siang itu.
Saya membuka pintu untuk tamu yang memencet bel.
Ternyata seorang remaja putra, berbaju belang, badannya tinggi, rambutnya agak gondrong, berkacamata frame tebal.
Kok rasa-rasanya kenal, siapa ya.. pangling!

“Eh Ca, liburan? Tos lami di dieu?” Sapanya dengan tersenyum.
Senyum yang pada akhirnya mengingatkan saya pada namanya.
“Muhun, tos lami. Liburna lami” jawab saya.
Sebenarnya nama beliau sudah ada di tenggorokan, namun tak juga kunjung terucap.
“Aya Bu Didah teu? Saurna kadieu”, tanyanya.
“Teu aaa-ya?”, jawab saya.
“Yeh, di mananya? Ongkoh saurna di Bu Tami..,” gumamnya sambil memencet hp, menghubungi orang yang dicari.

Setelah beberapa percakapan singkat akhirnya beliau pulang.
Tidak sedikitpun saya menyangka, setelah sekitar dua tahun tidak bertemu, pertemuan itu merupakan perpisahan.
Baik tempat maupun waktunya, semua hal tersebut berasa luar biasa.
Saya baru pertama kali bertemu dengan seseorang beberapa saat sebelum ajalnya, apalagi dengan cara kematian yang tiba-tiba.
Tambahan lagi, orang tersebut bukanlah teman yang sangat akrab yang seringkali bertemu, eh tiba-tiba dia hadir di pintu depan rumah saya.
Sekilas, hanya sekilas.
Benar-benar untuk terakhir kalinya...

Saya rasa pertemuan terakhir ini bukanlah kebetulan. Bagi saya, itu adalah pengingat dari Allah untuk saya yang terlena dalam permainan dunia.

Pemuda itu..
semuda apapun
sekuat apapun
sehebat apapun
jika Tuhannya memintanya kembali
pergilah ia...

Maut barangkali bukanlah perkara kapan
tetapi bagaimana



*****

Selamat jalan, Andi Supriadi...
(SMPN 1 Jampangkulon, kelas IX-C, alumni 2005
SMAN 1 Jampangkulon, kelas bahasa, alumni 2008)

Hai jiwa yang tenang.
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya.
Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku,
dan masuklah ke dalam surga-Ku.
(QS. 89:27-30)