Jumat, 05 Maret 2010

Ritual Kembang Melati




Terkadang prioritas yang telah kita tetapkan kalah pamor sama jarkom. Bukan bermaksud protes apalagi mengeluh, hanya ingin meminta. Meminta izin, do’a, dan restu. Saya harus pulang kampung secepatnya.

Sebenarnya tidak ada hal emergency yang mengancam keselamatan nyawa, hanya hape berdering lebih sering dari biasanya dan message yang lebih intens dari sebelumnya. Intinya, “kapan pulang?”

Jum’at, 11 September 2009 aku memutuskan untuk segera kabur dari keriuhan kampus. Menuju Cibiru, keluarga Bibi yang ditinggalkan selama berminggu-minggu tanpa ada kabar aku sedang apa dan sedang di mana. Kalau tidak ada aral menghadang, besok paginya baru akan meluncur ke kampung halaman.

Biasanya kalau pulang cuma membawa tas ransel kosong. Enggak deng, paling isinya mushaf, charger hp, dompet, air minum, apalagi ya? Udah segitu. Berhubung di liburan sekarang banyak proyek yang harus diselesaikan (laporan biosistematika, genetika, kimia organik, anfiswan, dan esai analisis Ramadhan Bersama Mereka) jadi bawa banyak barang. Satu ransel berisi laptop doang (biar bisa dipangku di bus), satu ransel isinya buku-buku penuntun praktikum, baju, dan pernak-pernik lainnya. Satu lagi, tas jinjing kecil. Isinya? Apalagi kalau bukan botol kultur drosophila.

Kali ini mengambil jalur perjalanan yang tidak biasa. Alih-alih berangkat dari terminal, aku memilih untuk cari bus jurusan Cianjur dari tol Cileunyi. Berangkat dari rumah pukul 06.15 (telat 15 menit dari rencana karena terpincut baca majalah Kartini yang meliput acara kontes Miss Beautiful Morals di Saudi Arabia), tiba di tol sekitar 15 menit kemudian.

Perjalanan Bandung-Cianjur biasa-biasa saja (tidur terus sih!). Sampai di Terminal Pasirhayam yang kosong melompong pukul delapanan. Setengah jam kemudian bus menuju Sukabumi baru datang. Perjalanan Cianjur-Sukabumi juga biasa-biasa saja karena sepanjang perjalanan tidur juga. Lagipula melihat deretan bangunan di pinggir jalan tak terlalu istimewa. 

Pukul 10an turun di ABC (entahlah nama asli daerah itu apa, yang jelas kondektur bakalan teriak, “ABC.. ABC..!!”). Kenapa tidak turun di terminal? Jawabannya supaya bisa jalan kaki bernostalgia menikmati suasana kota. Jalan kaki sepanjang pertokoan, sampai akhirnya bertemu dengan pasar kaget-yang-mau-tidak-mau-harus-dilewati. Becek, sumpek, bau, terik, gerahhh, bawaan banyak, rawan copet… haus? Sangadhh.. rasanya seperti cucian yang sudah kering dan merana.

Kusarankan bagi kalian untuk tidak terlalu mempercayai supir angkot yang merayu-rayu bilang, “hayu Neng, angkat ayeuna (berangkat sekarang).” Itu bohong, Kawan. Itu Bohong!!

Hhh.. kira-kira pukul sebelas, sampai juga di Terminal Lembur Situ. Di sana sudah menunggu seorang kawan, Matematika ITB ’07. Lho, mana busnya?

Ya, di sinilah kami! Dalam suasana yang gerah abizz, bau asem, haus parah, berdesak.. duduk berdempetan di sebuah mini bus yang dalam bahasa lokal disebut elf. Dua orang mahasiswi dengan bawaan banyak bertumpuk di pangkuannya (laptop, satu tas kripik, dan kandang drosophila tentunya) asik-asik saja mengobrol tentang kuliah, da’wah, dan…**tiiiiiiit. Kami asyik mengobrol sampai rasanya 20.000 kata terlampaui.

Jika jalanan menuju Jampangkulon dianalogikan sebagai seekor ular, ular itu pastinya ular yang lincah. Meliuk ke kanan ke kiri tanpa peduli seberapa dalam curam-curam yang menganga di tepiannya. Tapi tak dapat dipungkiri, alam liar Pajampangan luar biasa indah! Daerah Sukabumi selatan yang cantik sekaligus belum terlalu terjamah polusi.

Jika kalian ingin melihat hamparan perkebunan teh, kalian bisa menemukannya di sini. Jika kalian senang memandang tanaman-tanaman pisang tumbuh menclok-menclok di padang ilalang, silakan saksikan di sini. Atau kalian ingin melihat pohon-pohon besar menyeramkan menaungi jalan? Atau bunga-bunga liar yang bersembunyi dalam rerimbunan? Atau pohon-pohon karet yang berbaris rapi? Atau conifer yang menjulang? Atau kawanan (kawanan??) singkong di berjejer di pinggir jalan? Atau kumis kucing yang malu-malu? Atau mau lihat rumpun bamboo di pinggiran jalan? Jika beruntung, kalian dapat mendengar kicauan burung-burung dan nyanyian serangga hutan, bahkan oa/lutung/apalah itu namanya yang menjerit-jerit menyapa kalian, juga ayam yang bebas berlarian berkejaran. Dulu, dulu lebih amazing daripada semua itu! Dulu, ada hutan Pasirpiring yang benar-benar hutan belantara eksotik sampai-sampai orang yang baru pertama kali melewatinya tidak menyangka kalau setelah hutan itu akan ada pedesaan dengan konsep hidup yang sudah modern. Tapi manusia-manusia yang kelaparan memakan pohon-pohonnya sampai ke akar.

Ya, lupakan Pasirpiring. Mari kembali ke jalan pulang.

Selamat datang di rumah tanpa pagar! Selamat datang di area bebas macet dan tiada internet!! Ini rumah kami, JAMPANGKULON.

Hmmm, aroma rumah sudah mulai tercium. Kami melewati SMP yang kini pahebring-hebring sama RSUD di seberangnya. Terus melewati alun-alun yang padam dari gemerlap sebuah alun-alun pada umumnya. Dan berhentilah aku di depan Kantor Polisi. Ada seseorang berhelm merah dengan motornya yang sudah menunggu di sana. Hih, lagi-lagi pakai celana pendek. Dasar bocah!! “Hayu, Teh,” sapanya riang.

Motor kami melaju menembus kenangan yang menjulang di sepanjang jalan. Mengurai satu-satu kisah kocak masa kecil. Sekolah dasarku, pohon campolehku (apa sih bahasa indonesianya).. satu belokan lagi kami akan sampai. Rumah pelangi yang selalu kurindu untuk memasukinya. Ada mama dengan dasternya tersenyum menyambut kami. Dua nenekku (keduanya mantan kembang desa) tergopoh-gopoh menyambutku juga.

Aku belum shalat dzuhur nih! Singkat cerita, aku menemui sujud pertamaku. Hmm.. sajadah wangi. Di tengah kering-kerontangnya kerongkonganku, wangi ini mengingatkanku pada teh melati. Ya Allah, lemah sekali hamba-Mu ini, ckckck.. tapi beneran wangi melati lho!! Suka deh…

Aroma melati menguap seiring dengan semakin berat kelopak mataku. Akhirnya tidur siang di ruang tengah, haha setelah sekian lama melewatkan siang di bangku laboratorium.

Singkat cerita (lagi), adzan isya berkumandang. Mama sudah duluan pergi ke masjid dan aku masih di rumah ribut mencari kunci (penyakit kambuhan ni!!).

Saat sujud pertama, hm… wangi teh melati lagi. Padahal ini bukan sajadah tadi siang. Jangan-jangan saluran respiratoriku kemasukan teh melati tanpa kusadari.. oO-ow, yaiyalah wangi melati. Wong bunganya ngagunduk gitu di depan hidung. (aku baru menyadari kehadirannya setelah salam).

Kemudian mama dengan santainya memindahkan sekuntum melati ke lingkaran pertama pada motif sajadahnya. Setelah dua rakaat selesai, mama memindahkan melati di lingkaran pertama ke lingkaran berikutnya. Begitu seterusnya, tiap dua rakaat mama memindahkan melati itu sambil senyum-senyum nakal. Aku mau coba ngetes ah, “berapa rakaat lagi , Ma?”. “Empat lagi, witir tiga,” jawab Mama sambil memperhatikan posisi terakhir melati itu.

Kalau diingat-ingat, Ramadhan tahun ini Mama lebih rajin tarawih ke masjid (sebelumnya nggak bertahan sampai bilangan hari keduapuluhan). Rupanya Mama punya teman tarawih, Bu Ati namanya. Beliaulah supplier melati itu. Mereka berdua, setiap dua rakaat tidak lupa memindahkan melati ke lingkaran berikutnya di sajadah. Ya, pekerjaan yang sangat menyenangkan, membuat lupa akan betapa ngebutnya dua rakaat tadi dan menyemangati agar melati sampai di lingkaran finish.
Jadi semakin rajin taraweh, Ramadhan Mamah akan semakin wangi . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar